Pembangunan peternakan merupakan bagian dari pembangunan pertanian dalam arti luas. Dengan adanya reorientasi kebijakan pembangunan sebagaimana tertuang dalam program RPPK (Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan) maka pembangunan pertanian perlu melakukan pendekatan yang menyeluruh dan integratif dengan sub sektor yang lain dalam naungan sektor pertanian.  Hal ini semakin penting untuk dilakukan apabila dikaitkan dengan program swasembada daging sapi yang tertuang dalam target RPJMN (Rencana Pembanguan Jangka Menengah Nasional) 2015-2019. Program Swasembada Daging Sapi merupakan kelanjutan dari program yang pernah dimulai sejak tahun 1998, kemudian berlanjut pada tahun 2005 sampai 2014 dan saat ini merupakan bagian dari kontrak politik (program prioritas) Menteri Pertanian dengan Presiden yang didukung oleh justifikasi teknis, sosial, ekonomi dan politik. Kebijakan pemerintah dalam pembatasan kuota impor salah satunya bertujuan untuk memacu masyarakat dalam penyediaan pangan daging sapi secara mandiri. Sektor peternakan di Kabupaten Bogor walaupun bukan menjadi sektor utama dalam program pembangunan yang dilaksanakan pemerintah daerah, namun merupakan faktor yang sama sekali tidak bisa dipandang sebelah mata karena sektor peternakan memberikan kontribusi yang sangat besar bagi indeks peningkatan daya beli masyarakat dan perekonomian masyarakat. Ternak sapi potong merupakan salah satu ternak yang banyak dibudidayakan dan diusahakan petani di Kabupaten Bogor. Ternak tersebut berperan sebagai sumber pendapatan, membuka kesempatan kerja dan sumber protein hewani. Populasi ternak sapi potong yang tinggi menunjukkan salah satu potensi dan peluang yang dapat dimanfaatkan untuk memberikan nilai tambah dalam usaha ternak sapi, meningkatkan konsumsi gizi keluarga akan protein hewani bahkan sebagai komoditas agribisnis. Peluang pengembangan sapi potong cukup besar, hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain tersedianya sapi bakalan dalam jumlah besar dan mutu yang relatif baik, tersedianya pakan ternak dalam jumlah cukup, tersedianya lahan pangonan, relatif mudahnya akses pemasaran, keterampilan petani yang memadai, sosial budaya yang menunjang dan adanya dukungan baik dari pihak swasta atau pemerintah. Kabupaten Bogor sebagai salah satu wilayah pengembangan ternak potensial di Provinsi Jawa Barat memiliki peran penting dan strategis dalam pengembangan ternak dan menyediakan kebutuhan daging sapi Jawa Barat dan DKI. Untuk itu diperlukan strategi dan kebijakan antara lain melalui : 1.    Pencegahan Pemotongan Ternak Betina Produktif Sekitar 28 persen sapi yang dipotong setiap hari merupakan betina produktif. Paling tidak  ada empat faktor yang mendorong pemotongan  betina produktif antara lain : (1) peternak  butuh dana untuk kebutuhan hidupnya sehingga harus menjual asetnya dalam  bentuk  sapi betina, (2) harga sapi  betina lebih murah dibandingkan  sapi jantan, sedangkan harga jual  dagingnya sama,  (3) adanya pemotongan di luar RPH pemerintah, dan (4) RPH hanya berorientasi profit sehingga kurang peduli terhadap larangan pemotongan betina produktif. Sapi betina produktif merupakan aset berharga, penurunan jumlah sapi betina yang dipotong sama banyaknya dengan sapi jantan. Konsekuensi dari rasio ini menyebabkan induk bibit betina semakin berkurang dan dampaknya tingkat kelahiran juga semakin berkurang. Salah satu faktor meningkatnya pemotongan sapi betina produktif adalah karena di lapangan jumlah sapi jantan potong sangat terbatas serta pedagang ternak lebih suka membeli betina dikarenakan harganya lebih murah dibanding ternak jantan. Guna menjaga kelangsungan sumberdaya ternak,  pemotongan sapi betina produktif tersebut harus dicegah. Salah satu kebijakan yang dapat dilakukan adalah kebijakan tunda potong.  Hal ini dilakukan dengan cara membeli sapi betina produktif  dan dikembangkan kembali  pada peternak yang layak sebagai peserta  program. Kebijakan ini sudah  banyak dilakukan di berbagai daerah. 2.    Optimalisasi Inseminasi Buatan (IB) dan Intensifikasi Kawin Alam (InKA)    Program Inseminasi Buatan (IB) merupakan salah satu usaha yang dilakukan untuk meningkatkan populasi ternak sapi potong, produksi baik kuantitas dan kualitasnya. Walaupun program ini sudah lama dikenalkan kepada masyarakat namun hasilnya belum memuaskan. Berdasarkan perkembangan jumlah ternak sapi potong di salah satu Pos IB selama 6 (enam) tahun terakhir, jumlah akseptor IB, rata-rata hanya sekitar 41% dari betina dewasa. Selain itu tingkat keberhasilan inseminasi buatan terlihat masih rendah. Hal ini ditunjukkan oleh nilai Service per Conception (S/C) yang masih tinggi yaitu 2,7 dan Conception Rate (CR) yang rendah yaitu 57,8%. Target yang ditetapkan oleh Ditjen Peternakan untuk S/C dibawah 1,6 dan CR lebih besar dari 62,5%. pos IB Untuk meningkatkan optimalisasi IB dan InKA perlu dilakukan : (1).    Penyusunan perangkat sosialisasi Inseminasi Buatan dan Intensifikasi Kawin Alam; (2).    Peningkatan kegiatan IB melalui optimalisasi akseptor; (3).    Perbaikan kawin alam melalui distribusi pejantan unggul dan sertifikasi pejantan pemacek; (4).    Penanganan gangguan reproduksi dan kesehatan ternak sapi; (5).    Penjaringan dan penyelamatan betina produktif, dan keturunan hasil IB; (6).    Penyediaan induk/bibit; (7).    Penyuluhan kepada masyarakat tentang pentingnya IB dan InKA dan penanganan gangguan reproduksi. 3.    Pemberdayaan dan Peningkatan Kualitas RPH      Rumah Potong Hewan (RPH) adalah unit untuk melaksanakan kegiatan pemotongan hewan sesuai dengan prosedur yang berlaku. Kabupaten Bogor memiliki tiga unit RPH yang saat ini belum dapat memberikan pelayanan secara optimal dikarenakan belum dilengkapi dengan sarana prasarana yang memadai. Keadaan tersebut berakibat pada munculnya tempat-tempat pemotongan liar. Dampak dari pemotongan liar tersebut adalah timbulnya limbah yang akan mempengaruhi kesehatan lingkungan serta sulitnya pengawasan apabila terjadi penularan penyakit. Untuk mengatasi hal tersebut perlu dibangun RPH berskala kecil dekat dengan sentra produksi ternak dan diawasi oleh pemerintah. Disamping itu perlu dilakukan sosialisasi tentang ketentuan pemotongan ternak melalui penyuluhan, pendidikan dan pelatihan kepada para pelaku tataniaga daging serta masyarakat pada umumnya. Lokasi RPH yang ideal harus berjarak sekurang-kurangnya dua hingga tiga kilometer dari permukiman penduduk. Pencemaran harus ditekan/dikurangi agar limbah yang dihasilkan berada pada baku mutu yang telah ditetapkan. Oleh karena itu pada lokasi RPH yang direncanakan harus dibangun sistem pengelolaan limbah, baik untuk limbah padat maupun limbah cair (IPAL). Tolok ukur yang digunakan untuk mengukur komponen lingkungan yang akan terkena dampak akibat adanya kegiatan usaha ditetapkan berdasarkan baku mutu standar (sesuai peraturan perundang-undangan). 4.    Pengembangan Integrasi Ternak dan Tanaman    Pola integrasi antara tanaman dan ternak atau yang sering kita sebut dengan pertanian terpadu, adalah memadukan antara kegiatan peternakan dan pertanian. Pola ini sangatlah menunjang dalam penyediaan pupuk kandang dilahan pertanian, sehingga pola ini sering disebut pola peternakan tanpa limbah karena limbah peternakan digunakan untuk pupuk, dan limbah pertanian untuk makan ternak. Integrasi hewan,  ternak dan tanaman dimaksudkan untuk memperoleh  hasil usaha yang optimal, dan dalam rangka memperbaiki kondisi kesuburan tanah. Integrasi antara ternak dan tanaman haruslah saling melengkapi, mendukung dan saling menguntungkan, sehingga dapat mendorong peningkatan efisiensi produksi  dan meningkatkan keuntungan hasil usaha taninya. Pada dasarnya usaha tani terpadu telah dilakukan oleh para petani kita. Petani dapat memanfaatkan limbah tanamannya (misal jerami) sebagai pakan hewannya sehingga meringankan dalam penyediaan pakan. Disamping itu petani juga dapat menggunakan tenaga sapi/kerbaunya untuk pengolahan lahan pertanian,  ternak sapi/kerbau juga dapat digunakan sebagai investasi (tabungan) yang sewaktu-waktu dapat dijual untuk keperluan yang medesak. 5.    Pengembangan Pupuk Organik dan Biogas    Upaya pengembangan energi alternatif dari pemerintah mendorong  dikembangkannya energi terbarukan, salah satu energi terbarukan yang dikembangkan adalah biogas. Biogas merupakan wujud lain dari pemanfaatan gas biomassa. Biogas menjadi salah satu alternatif energi terbarukan dan sangat mungkin didesentralisasikan hingga ke perdesaan, bahkan ke rumah-rumah. Pengembangan peternakan sapi potong memiliki potensi yang besar untuk pengembangan energi terbarukan seperti biogas. Hal ini dibuktikan dengan limbah dari usaha peternakan sapi memiliki komposisi yang lebih besar dibandingkan peternakan lainnya termasuk kambing, domba, unggas. Sejumlah penelitian menunjukan bahwa: (1) Peternakan sapi sangat berpotensi besar dalam pengembangan energi alternatif, sehingga kedepannya nanti perlu disosialisasikan dan dikembangkan. Usaha peternakan sapi tidak hanya menghasilkan output utamanya, yaitu susu, daging, anak sapi, limbahnya pun dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan biogas dan pupuk organik (pupuk kompos); (2) Biogas merupakan program pemerintah dalam penghematan penggunaan Bahan Bakar Minyak (BBM), sehingga keterkaitan usaha peternakan dalam pengembangan biogas sangat besar, mengingat potensi usaha ini ke depan sangat besar. 6.    Penyediaan dan Pengembangan Teknologi Pakan dan Lahan Pakan Pakan ternak memiliki peran yang sangat penting (berkontribusi sebesar 70 % dari biaya produksi peternakan) baik yang berasal hijauan makanan ternak maupun pakan jadi/konsentrat. rumput Dengan tingginya permintaan pakan ternak yang berkualitas maka perlu adanya pengembangan teknologi baru dan teknik pengolahan guna menghindari kerusakan lingkungan atau kenaikan harga produk pakan.  Kendati kebutuhan pakan secara kuantitas meningkat, lahan untuk hijauan makanan ternak yang tersedia saat ini semakin berkurang. "Perkembangan ini tidak sejalan dengan luas lahan yang stagnan,". Idealnya 1 hektar lahan produktif diperuntukkan bagi sekitar 15 - 20 ekor sapi. Dengan kondisi seperti itu, perlu segera dilakukan terobosan kebijakan untuk tetap melindungi lahan pakan ternak. Hal ini bisa dilakukan dengan membantu ketersediaan lahan yang dibutuhkan untuk hijauan makanan ternak. Jika dimungkinkan, pemerintah bisa memberikan fasilitasi kerjasama pemanfaatan lahan HGU maupun menetapkannya dalam peraturan yang dituangkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah bagi penyediaan lahan pakan ternak. 7.    Pengembangan Sarana dan Prasarana Ternak Sapi      Pengembangan ternak sapi potong perlu didukung dengan sarana dan prasarana yang memadai. Upaya peningkatan sarana dan prasarana yang perlu dilakukan dalam mendukung pengembangan ternak sapi adalah: (1).    Penyediaan lahan peternakan berkelanjutan di Kabupaten Bogor yang ditetapkan melalui perangkat peraturan daerah tentang RTRW; (2).    Pengembangan Pusat Kesehatan Hewan; (3).    Pengembangan Laboratorium Kesehatan Hewan; (4).    Pengembangan Pasar Hewan; (5).    Pengembangan Unit Layanan Inseminasi Buatan (ULIB); (6).    Pengembangan Teknologi Pengolahan Pakan dan Pabrik Pakan Mini; (7).    Pengembangan Unit Pengolahan Pupuk Organik (UPPO) dan Limbah Ternak; (8).    Pengembangan Rumah Potong Hewan; (9).    Pengembangan Pos Penyuluhan (Posluh) Peternakan; (10).    Pengembangan Lahan Pakan Ternak dan Air; (11).    Peningkatan Jalan Produksi Peternakan. Mengingat potensi produksi ternak sapi potong (supply capacity) Kabupaten Bogor sangat besar, sementara permintaan (demand) ternak tersebut terus meningkat, maka komoditas ternak sapi potong dapat menjadi unggulan komparatif dan kompetitif guna menunjang kemajuan pembangunan ekonomi masyarakat Kabupaten Bogor. Oleh karena itu, pengembangan peternakan sapi potong tidak dapat lagi dilakukan sendiri oleh Dinas Peternakan dan Perikanan tetapi juga harus dapat dilaksanakan secara sinergis dan terpadu dengan dinas/instansi lain yang terkait, baik antar subsektor maupun lintas sektoral. Selain itu dukungan dari pihak-pihak yang bergerak di bidang peternakan, seperti peneliti, penyuluh, asosiasi-asosiasi dan swasta juga sangat menentukan keberhasilan pengembangan sapi potong di Kabupaten Bogor.